Entri Populer

Selasa, 30 November 2010

SEJARAH PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN


DEFINISI PESANTREN
            Pondok pesantern tumbuh sebagai perwujudan dari strategi umat islam untuk mempertahankan eksistensinya terhadap pengaruh penjajahan barat atau sebagai akibat dari adanya surau atau langgar dan masjid serta tempat diselenggarakannya pendidikan agama yang tidak lagi menampung jumlah anak-anak yang mengaji atau belajar agama. Disamping itu juga didorong oleh keinginan lebih menginfestasikan pendidikan agama pada anak-anak. Maka sang guru atau pak kyai dengan bantuan masyarakat memperluas banguna di sekitar suarau, langgar, atau masjid untuk tempat mengaji sekaligus sebagai asrama bagi anak-anak yang belajar  mengaji tersebut. Dengan begitu anak-anak tak perlu bolak-balik pulang ke rumah orang tuanya.anak-anak tinggal menetap bersama pak kyai di tempat tersebut. Tempat mengaji seperti ini disebut pondok pesantren.
Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, dimana kata "santri" berarti murid dalam Bahasa Jawa Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq yang berarti penginapan, Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok. Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.
 Pendapat lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga dalam ada dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.
Saat ini, istilah pesantren hanya dapay ditemui di daereah jawa. Sementara di daerah lain seperti di Aceh, istilah pesantren dikenal dengan nama dayah, di Padang dengan istilah surau.
Di aceh, lembaga dayah telah berdiri sejak tahun 225 H./ 840 . pendirian lembaga tersebut dimulai sejak  islam dating pertama kali ke daerah ini.menurut Ali hasjmy, Sultan Kerajaan Peurulak mendirikan lembaga-lembaga pendidikan islam yang gurunya didatangkan dari Persia, arab, dan Gujarat.
Adapun surau, pertama kali didirikan oleh Syaikh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman, setelah ia kembali dari Aceh, diman ia belajar dengan syaikh Abdur Rauf al-Singkeli. Taufik Abdulloh mencatat bahwa pengaruh ulakan bagi perkembangan islam di Minangkabau cukup besar, sehingga dalam tradisi sejarah di kalangan para ulama sering disnggap bahwa kota kecil ini adalah sumber penyebaran islam.
Lebih dari itu, pesantren di Jawa didirikan oleh Raden Fattah pada tahun 1475 di hutan glagah arum di sebelah selatan Jepara. Pesantren itu mendapat kemajuan yang sangat pesat sehingga kota glagah arum yang kecil itu juga ikut maju dan akhirnya berubah menjadi kabupaten, yakni bintara dan Raden Fattah menjadi bupatinya. Dengan demikian, dugaan Martin van Bruinessen yang mengatakan bahwa lembaga yang layak disebut pesantren belum berdiri sebelum abad ke-18 masih perlu diteliti ulang.
Pesantren, sebagaimana disinggung di atas, merupakan lembaga pendidikan islam yang hanya ditemui di Jawa. Suatu tempat disebut pesantren, jika di dalam tempat tersebut terdapat beberapa unsur seperti:
1.      Pondok
2.      Masjid
3.      Kitab-kitab yang diajarkan
4.      Murid (santri) dan Pengajar (kyai)
Keempat unsur tersebut menjadi syarat mutlak bagi terwuujudnya pesantren. Pondok adalah tempat untuk belajar dan menginap bagi santri, sedangkan masjid adalah tempat sholat berjamaah lima waktu dan tempat belajar santri, adapun santri merupakan penghuni pesantren setelah kyai. Ringkasnya, pesantren adalah model “desa kecil” yang di dalamnya ada seperangkat aturan yang harus dipatuhi oleh segenap penghuninya. Karena aturan-aturan tersebut telah mengakar, terkadang tidak ditulis, namun menjadi hukum hidup (living law) yang tidak boleh dilanggar sama sekali. Sang pemimpin (kyai) biasanya memimpin dengan segenap kemampuannya dan menetap di dalam “desa kecil” itu.
PONDOK PESANTREN ZAMAN DAHULU
Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.

Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di Pesantren Ampel.

Kesederhanaan pesantren dahulu sangat terlihat, baik segi fisik bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Yang menjadi ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan sang Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua. Tidak heran bila santri merasa kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala kesederhanaannya. Bentuk keikhlasan itu terlihat dengan tidak dipungutnya sejumlah bayaran tertentu dari para santri, mereka bersama-sama bertani atau berdagang dan hasilnya dipergunakan untuk kebutuhan hidup mereka dan pembiayaan fisik lembaga, seperti lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan lain sebagainya.

Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan kitab turost atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Ha litu karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi  fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi). Tidak heran bila sebagian pakar menyebut sistem pendidikan Islam pada pesantren dahulu bersifat “fiqih orientied” atau “nahwu orientied”.

Masa pendidikan tidak tertentu, yaitu sesuai dengan keinginan santri atau keputusan sang Kyai bila dipandang santri telah cukup menempuh studi padanya. Biasanya sang Kyai menganjurkan santri tersebut untuk nyantri di tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para santri yang tekun biasanya diberi “ijazah” dari sang Kyai.

Lokasi pesantren model dahulu tidaklah seperti yang ada kini. Ia lebih menyatu dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek) dan para santri berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk ini masih banyak ditemukan pada pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura dan sebagian Jawa Tengah dan Timur.

Pesantren dengan metode dan keadaan di atas kini telah mengalami reformasi, meski beberapa materi, metode dan sistem masih dipertahankan. Namun keadaan fisik bangunan dan masa studi telah terjadi pembenahan. Contoh bentuk terakhir ini terdapat pada Pondok Pesantren Tebu Ireng dan Tegalrejo.
PONDOK PESANTREN SAAT INI
Bentuk, sistem dan metode pesantren di Indonesia dapat dibagi kepada dua periodisasi; Periode Ampel (salaf) yang mencerminkan kesederhanaan secara komprehensif. Kedua, Periode Gontor yang mencerminkan kemodernan dalam sistem, metode dan fisik bangunan. Periodisasi ini tidak menafikan adanya pesantren sebelum munculnya Ampel dan Gontor. Sebelum Ampel muncul, telah berdiri pesantren yang dibina oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Demikian juga halnya dengan Gontor, sebelumnya telah ada –yang justru menjadi cikal bakal Gontor- pesantren Tawalib, Sumatera. Pembagian di atas didasarkan pada besarnya pengaruh kedua aliran dalam sejarah kepesantrenan di Indonesia.

Sifat kemodernan Gontor tidak hanya terletak pada bentuk penyampaian materi yang menyerupai sistem sekolah atau perkuliahan di perguruan tinggi, tapi juga pada gaya hidup. Hal ini tercermin dari pakaian santri dan gurunya yang mengenakan celana dan dasi. Berbeda dengan aliran Ampel yang sarungan dan sorogan. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat para Kyai salaf menekankan perasaan anti kolonial pada setiap santri dan masyarakat, hingga timbul fatwa bahwa memakai celana dan dasi hukumnya haram berdasarkan sebuah hadist yang berbunyi: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum (golongan), maka dia termasuk golongan itu”.

Dalam hal ini, Gontor telah berani melangkah maju menuju perubahan yang saat itu masih dianggap tabu. Namun demikian bukan tidak beralasan. Penggunaan dasi dan celana yang diterapkan Gontor adalah untuk mendobrak mitos bahwa santri selalu terkebelakang dan ketinggalan zaman. Prinsip ini tercermin dengan masuknya materi bahasa inggris menjadi pelajaran utama setelah bahasa Arab dan agama, dengan tujuan agar santri dapat mengikuti perkembangan zaman dan mampu mewarnai masyarakat dengan segala perubahannya.

Beberapa reformasi dalam sistem pendidikan pesantren yang dilakukan Gontor antara lain dapat disimpulkan pada beberapa hal. Di antaranya: tidak bermazdhab, penerapan organisasi, sistem kepimimpinan sang Kyai yang tdak mengenal sistem waris dan keturunan, memasukkan materi umum dan bahasa Inggris, tidak mengenal bahasa daerah, penggunaan bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa pengantar dan percakapan, olah raga dengan segala cabangnya dan lain-lain. Oleh karena itu Gontor mempunayi empat prinsip, yaitu: berbudi tinggi, berbadan sehat, berpikiran bebas dan berpengetahuan luas.

Langkah-langkah reformasi yang dilakukan Gontor pada gilirannya melahirkan alumni-alumni yang dapat diandalkan, terbukti dengan duduknya para alumni Gontor di berbagai bidang, baik di instansi pemertintah maupun swasta. Bila mazdhab Ampel telah melahirkan para ulama, pejuang kemerdekaan  dan mereka yang  memenuhi kebutuhan lokal, maka Gontor telah memenuhi kebutuhan di segala sendi kehidupan di negeri ini. Atas dasar itu pula penulis membagi sejarah sistem pendidikan pesantren kepada dua pase; pase Ampel dan pase Gontor.

Satu persamaan yang dimilki dua madzhab ini adalah bahwa kedua-duanya tidak mengeluarkan ijazah negeri kepada alumninya, dengan keyakinan bahwa pengakuan masyarakatlah sebagai ijazahnya.
Langkah reformasi di atas tidak berarti Gontor lebih unggul di segala bidang, terbukti kemampuan membaca kitab kuning (turost) masih dikuasai alumni mazdhab Ampel dibanding alumni mazdhab Gontor.

Sekarang ini, pondok pesantren dibagi menjadi empat tipe berdasarkan keputusan Menteri Agama RI no. 3/1979 yang membagi pondok pesantren dibedakan kedalam empat jenis yaitu:
1.      Pondok pesantren tipe A, yakni pondok pesantren dimana para santri belajar dan bertempat tinggal bersama dengan guru(kyai), kurikulumnya terserah pada kyainya, cara member pelajaran individual dan tidak mengadakan madrasah untuk belajar.
2.      Pondok pesantren tipe B, yakni pondok pesantren yang mempunyai madrasah dan mempunyai kurikulum, pengajaran dari kiai dilakukan dengan cara stadium general, pengajaran pokok terletak pada madrasah yang diselenggarakannya. Kiai memberikan pelajaran secara umum kepada para santri pada waktu yang ditentukan dan para santri tinggal di lingkungan itu untuk mengikuti pelajaran dari kiai di samping mendapat ilmu pengetahuan umum di madrasah.
3.      Pondok pesantren tipe C, yakni pondok pesantren yang fungsi utamanya hanya sebagai tempat tinggal atau asrama,santri –santrinya belajar di madrasah dan sekolah-sekolah umum, fungsi kiai disini sebagai pengawas, Pembina mental dan pengajar agama.
4.      Pondok pesantren tipe D, yakni pondok pesantren yang menyelenggarakan system pondok dan sekaligus system sekolah atau madrasah.
Demikianlah sepintas tentang  dunia pesantren, dan apa yang ingin dikatakan adalah bahwa “desa kecil” merupakan suatu lembaga yang ada dan masih terus tetap eksis di Indonesia. Karenanya tidak mengherankan, dewasa ini, model “desa kecil” menjadi model alternative bagi pengembangan pendidikan di Indonesia. Munculnya berbagai sekolah yang menganut system pendidikan pesantren telah menunjukan bahwa pesantren sebagai basis subkultur yang sangat signifikan. Selain itu, pesantren juga membentuk jaringan kekuatan politik, banyaknya tokoh polotik yang berasal dari pesantren mengindikasikan bahwa lembaga tersebut mendidik santrinya untuk siap terjun ke tengah-tengah masyarakat.di samping itu, pesantren juga menghasilkan produsen pemikiran Islam di Indonesia seperti contoh Nurcholosh Madjid dan Abdurrahman Wakhid, merupakan “jebolan” pesantren. Berdasarkan hal tersebut, tidaklah berlebihan jika lembaga pesantren dikatakan sebagai basis pemikir di Indonesia, hal tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa alasan:
1.      Di pesantren para santri langsung mempelajari kitab klasik, dengan begitu santri memperoleh wawasan yang sangat berarti tentang peradaban Islam
2.      Model belajar di pon-pes melibatkan kemampuan dialektika antara santri dan kiainya, sehingga penguasaan materi kitab kuning menjadi modal bagi santri tersebut.
3.      Kemampuan menguasai bahasa asing
4.      Hafalan yang kuat terhadap teks-teks klasik
5.      Disiplin yang ketat
Dari hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pesantren merupakan lembaga yang sangat dinantikan di era masa depan. Sebab pola pendidikan pesantren merupakan pola yang cocok untuk pengembangan manusia, baik hubungan pada Alloh ataupun sesame manusia. Dan juga pesantrenlah yang dapat dijadikan standarisasi moral bangsa ini, jika ingin mewujudkan bangsa Indonesia sebagai masyarakat yang madani (civil society). Dengan syarat para santri juga harus diajarkan metodologi studi islam. Selanjutnya para santri hendaknya menguak tradisi untuk mempelajari karya-karya  klasik lintas madzhab. Selain itu, pesantren juga harus membuka diri terhadap kajian islam baik di timur dan di barat. Untuk itu, pesantren juga perlu mengakses informasi terkini tentang studi islam. Dan dapat dikatakan bahwa kesiapan pesantren di era globalisasi ini adalah bagaimana pesantren memaknai perannya sebagai lembaga pendidikan islam.
KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN PENDIDIKAN
Pemerintah melalui Departemen Agama telah mengeluarkan kebijaksanaannya dalam pendidikan, yaitu dengan SK Menag tentang penyelenggaraan pendidikan agama. Maka berdirilah MI, Mts, Madrasah Aliyah dan IAIN dengan tujuan mencetak ulama yang dapat menjawab tantangan zaman dan memberi kesempatan kepada warga Indonesia yang mayoritas muslim mendalami ilmu agama. Ijazah pun telah disetarakan dengan pendidikan umum sesuai dengan SK bersama tiga menteri (Menag, Mendikbud, Mendagri). Dengan demikian lulusan madrasah disetarakan dengan lulusan sekolah umum negeri
 Namun demikian, setelah berjalannya proses kebijakan tersebut, terbukti masih terdapat kelemahan-kelemahan, baik mutu pengajar, alumni (siswa) dan materinya, sehingga cita-cita  mencetak ulama yang handal kandas di tengah jalan. Ha lini terbukti masih dominannya lulusan pesantren dalam soal keagamaan. Bahkan lulusan madrasah dapat dikatakan serba tanggung, menjadi seorang profesional pun tidak, ulama pun tidak, Tidak heran bila banyak suara sumbang dan kritikan tajam bahwa SK bersama tiga menteri di atas hanya sebuah upaya pengikisan Islam dan keilmuannya melalui jalur pendidikan. Sehingga pada waktunya nanti Indonesia akan mengalami kelangkaan ulama. Ini terbukti dengan menjauhnya masyarakat dari madrasah. Mereka lebih bangga menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah umum. Alasannya sederhana, lulusan madrasah sulit mencari pekerjaan dibanding lulusan sekolah umum, walaupun pendapat ini tidak seluruhnya benar, tapi demikianlah yang kini berkembang di masyarakat.

Lebih ironi lagi, pemerintah melarang alumni pondok pesantren non kurikulum pemerintah untuk masuk IAIN. Alasannya karena mereka tidak memiliki ijazah negeri atau karena ijazah pesantrennya tidak disetarakan dengan ijazah negeri. Akibatnya IAIN hanya diisi oleh lulusan-lulusan madrasah dan sekolah umum yang note bone mutu pendidikan agamanya sangat minim. Padahal di tengah-tengah suasana globalisasi dan keterbukaan , kwalitaslah yang menjadi acuan, bukan formalitas.

Fenomena di atas membuat beberapa pesantren mengadakan ujian persamaan negara dan mengadopsi kurikulum pemerintah. Dan tentu saja segala konsekwensi yang telah disebut di atas akan terjadi. Di samping karena hal itu menjadi tuntutan masyarakat.

PERUBAHAN DINAMIK PONDOK PESANTREN
Perubahan dinamik pondok pesantren terjadi di seluruh Indonesia, pergeseran setidaknya terjadi dalam 5 hal, antara lain:
1.      Percepatan teknologi informasi menjadikan buku-buku dan media massa lain sebagai sumber belajar, tidak lagi kyai sebagai sumber satu-satunya untuk belajar
2.      Pendidikan nonformal dalam bentuk pengajian wetonan dan sorogan telah tergeser oleh animo pada bentuk pendidikan formal klasikal, madrasah. Sehingga di pondok pesantren muncul bentuk-bentuk madrasah.
3.      Ada keinginan untuk memperoleh pengakuan pendidikan formalnya berupa ijazah, disamping tetap mengejar pengetahuan agamanya.
4.      Disamping ingin menjadi muttaqin, para santri juga ingin mempelajari iptek.
5.      Pondok pesantren dengan pendidikan formalnyatelah menjadi alternative karena biaya sangat murah termasuk biaya hidup tinggal di asrama.

SEJARAH SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
      Usaha untuk menyelenggarakan pendidikan Islam menurut rencana yang teratur, sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1476 dengan berdirinya Bayangkara Islah di Bantara  Demak yang ternyata merupakan organisasi  Islam yang pertama di Indonesia. Dalam rencana kerja dari Bayangkara Islah disebutkan antara lain :
a.       Tanah Jawa-Madura dibagi atas beberapa bagian untuk lapangan pekerjaan bagi pendidikan dan pengajaran. Pimpinan pekerjaan di tiap-tiap bagian dikepalai oleh seorang wali dan seorang pembantu (badal).
b.      Para wali dan para badal, selain harus pandai dalam ilmu agama. Harus pula memelihara budi pekerti diri sendiri dan berakhlak mulia, supaya menjadi suri teladan bagi masyarakat sekelilingnya.
c.       Supaya mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat maka didikan dan ajaran Islam harus diberikan melalui jalan kebudayaan yangt hidup dalam mastarakat itu asal tidak mrnyalahi hukum  syara’.
d.      Di Bintara harus segera didirikan sebuah masjid agung untuk menjadi sumber ilmu dan pusat kegiatan usaha prndidikan ajaran Islam.
Untuk merealisasi rencana ini, maka pada suatu siding Walisongo dari Kerajaan Demak , diputuskan bahwa semua cabang keb udayaan nasional yakni filsafat hidup , kesenian, kesusilaan, adat-istiadat , ilmu pengetahuan dan sebagainya sedapat mungkin diisi dengan anasir-anasir pendidikan dan pengajaran Islam .Kebijaksanaan Wali-wali menyiarkan agama dan memasukan anasir-anasir pendidikan dan pengajaran Islam dalam  segala cabang kebudayaan nasional Indonesia, sangatlah memuaskan, sehingga agama Islam tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia.
      Demikianlah setelah Demak, Pajang sebagai pusat pemerintahan Islam pindah ke Mataram, usaha-usaha untuk memantapkan kehidupan agama semakin konkrit dan didukung sepenuhnya oleh para pejabat pemerintahan dari pusat sampai ke desa-desa dengan menggunakan masjid sebagai pusat kegiatannya.
      Usaha-usaha untuk memajukan pendidikan pengajaran agama Islam, dipercayakan kepada ketib dan dibantu oleh modin.
      Adapun susunan pendidikan dan pengajaran Islam pada zaman sultan Agung Mataram adalah sebagai berikut:
1.      Tingkat rendah-Pengajian Al-Qur’an
2.      Tingkat menengah-Pesantren desa (pengajian kitab)
3.      Tingkat tinggi-Pesantren besar
4.      Tingkat tinggi-Pesantren keahlian (takhasus) dan perguruan tariqat.

System pendidikan agama islam mengalami perubahan sejalan dengan perubahan zaman dan pergeseran kekuasaan di Indonesia. Kejayaan Islam yang mengalami kemunduran sejak jatuhnya Andalusia kini mulai bangkit kembali dengan munculnya gerakan pembaharuan Islam. Sejalan dengan itu, pemerintahan jajahan(Belanda) mulai mengenalkan system pendidikan formal yang lebih sistematis dan teratur yang mulai menarik kaum muslimin untuk memasukinya. Oleh karena itu, system pendidikan islam di surau atau langgar dan masjid dipandang sudah tidak memadahi lagi dan perlu diperbaharui dan disempurnakan.
Dengan membawa pikiran-pikiran baru Islam ke Indonesia, maka orientasi pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia mengalami perubahan. Jika semula tujuan pokok dari pendidikan agama islam hanya agar anak-anak dapat membaca Al-Qur’an dan mengetahui pokok-pokok agama islam yang perlu dilaksanakan sehari-hari seperti salat, puasa, zakat, dan lain-lain, maka dengan pikiran-pikiran baru ini disamping materi-materi pokok tersebut juga dipentingkan pemberian ilmu alat untuk mempelajari agama Islam dari sumbernya yang asli yaitu Al-Qur’an dan hadis, ilmu alat yang dimaksud adalah bahasa arab. Dengan menguasai bahasa arab orang akan dapat menggali ajaran agama islam dari sumbernya, sehingga dapat mengembangkan agama islam dengan cara yang lebih baik.
Realisasi dari keinginan-keinginan ini diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa penyelanggaraan pendidikan menurut system sekolah seperti di barat akan memberi hasil yang lebih baik. Karena itulah mulai diadakan usaha-usaha untuk menyempurnakan system pendidikan islam yang ada. Pendidikan islam di langgar, surau, dan msjid serta tempat-tempat lain yang semacamnya disemprnakan menjadi madrasah, pondok pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan yang berdasarkan keagamaan.
Demikianlah system klasikal mulai diterapakan. Bangku, meja, papan tulis mulai digunakan dalam mengajarkan pendidikan agama islam. Sebagai contoh surau Jembatan Besi di Minangkabau diubah menjadi Madrasah Tawalib. Sekolah diniyah yang didirikan oleh Zainuddin Labai juga merupakan perkembangan dari surau Jembatan Besi. Pembagian jenjang kelas juga mulai diadakan.
Demikian system pendidikan formal, sekolah, atau madrasah mulai tersebar dimana-mana, bahkan di kalangan pondok pesantren sudah diterapkan pula system sekolah atau madrasah ini, disamping system pendidikan dan pengajaran pondok pesantren yang sudah ada.
ISI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Setelah agama Islam semakin tersebar luas dan sudah banyak keluarga-keluarga yang memeluk agama Islam, mereka mulai merasakan pentingnya pendidikan agama islam pada anak-anak mereka, mula-mula anak diajar di keluarga, kemudian anak disuruh ke langgar, surau atau masjid untuk memperoleh pendidikan agama dari guru agama.
Adapun isi pendidikan dan pengajaran agama islam pada tingkat permulaan meliputi:
1.      Belajar membaca al-Qur’an
2.      Pelajaran dan praktek sholat
3.      Pelajaran ketuhanan (teologis) atau ketauhidan yang pada garis besarnya berpusat pada sifat dua puluh.
Pada tingkat yang lebih tinggi diajarkan pula bahasa arab, ushul fiqh, dilanjutkan dengan oelajaran mengenai aturan tentang nikah, talak, rujuk, waris.
Adapun materi pelajaran yang diberikan di pondok pesantren ini, setelah murid dapat membaca Al-Qur’an dilanjutkan dengan pelajaran sorof dan nahwu kemudian ilmu fiqh, tafsir, ilmu kalam(tauhid) dan akhirnya sampai pada ilmu tasawuf.
Menyadari akan pentingnya pembaharuan system pendidikan agama Islam di Indonesia dan sekaligus menanggulangi menjauhnya umat Islam dari agamanya akibat pengaruh dunia barat, maka mulailah umat islam sedikit terbuka dalam menerima kenyataan-kenyataan social di masyarakat modern.
Di dorong oleh kebutuhan akan pendidikan yang makin meningkat maka timbul lembaga pendidikan keagamaan yang berupa madrasah dan pondok pesantren.dan perkembangan selanjutnya tumbuh pula lembaga pendidikan umum yang berdasarkan ke agamaan.disamping diberikan mata pelajaran agama,juga di berikan mata pelajaran umum dan kejuruan.
Dengan adanya gerakan pembaharuan islam dengan datangnya system pendididkan Barat yang program belajar mengajarnya lebih terkoordinir dan lebih sistematis,meskipun dengan tujuan yang sangat menguntungkan system pendididkan namun member pengaruh pula pada keharusan memperbaharui system pendidikan Islam pada Madrasah,Pondok pesantren dan lembaga lembaga pendidikan yangberdasar keagamaan,Ke Arah system yang lebih sempurna.







PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren telah banyak memberikan andil bagi bangsa Indoneisa, baik dahulu maupun kini. Kehandalan pondok pesantren selama berabad-abad, walau dengan segala kesederhanaannya masih menjadi harapan umat Islam sebagai benteng satu-satunya bagi umat Islam dan kelimiahannya. Karena dari sanalah lahir generasi-generasi yang melanjutkan da’wah Islam. Tidak aneh bila ada anggapan bahwa para orientalis mulai menggeluti sosiologi pesantren untuk mencari titik yang dapat melemahkan kesinambungannya demi pengikisan Islam di Indonesia, baik melaui cara halus maupun kasar.

Walau bagaimana tangguhnya sebuah pesantren ia harus tetap belajar dengan lingkungan sekitarnya sambil melestarikan identitas keislamannya. Sistem fiqih orientied yang diterapkan pada masa Ampel misalnya, pada zaman kini dirasa kurang berhasil melahirkan alumni yang iltizam dengan agamanya, terbukti adanya sebagian santri setelah lulus dari pesantrennya kurang mengamalkan ajaran agamanya. Karena sekeluarnya dari almamater, dalam jiwanya merasa telah bebas dari segala peraturan dan tata tertib pesantren, padahal sebenarnya sebagian besar tata tertib itu adalah bagian dari ajaran Islam, seperti berjilbab, sholat berjamaah, membaca al-Quran, menjauhi yang haram dan syubhat, melakukan hal yang sunah dan lain sebagainya.

Oleh karena itu perlu adanya upaya memberi materi Islam secara kaffah, kamil dan mutakamil. Sehingga pemahaman dan sikapnya terhadap Islam pun bersifat komprehensif, dan tidak sepenggal-penggal.

Keanekaragaman lembaga pendidikan Islam merupakan khazanah yang perlu dilestarikan. Setiap lembaga mempunyai ciri khas dan orientasi masing-masing, namun demikian harus ada satu komitmen, yaitu memberi pemahaman Islam secara kaffah demi izzul Islam wal muslimin. Wallahu’alam







DAFTAR PUSTAKA
Zuhairini, dkk.1995.Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:Bumi Aksara
Rais, Amin,dkk.1997. Dinamika Pemikiran Islam dan Muhammadiyah.Yogyakarta: Lembaga Pustaka dan Dokumentasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Bustamam,Kamaruzzaman Ahmad.2002. Islam Historis-Dinamika Studi Islam di Indonesia.Yogyakarta: Gilang Press

1 komentar:

  1. titanium arts
    TATONIC ART CUSTOMING · TATONIC 출장마사지 ROCKING T-TATONIC 와이즈토토 ROCKING T-TATONIC titanium earrings ROCKING T-TATONIC. This unique and original BEST 바카라 design is 예스 벳 crafted with the use of sustainable

    BalasHapus